Upaya Perlindungan
Agen Penyalur dan Pemerintah terhadap Tenaga Kerja Indonesia
Dalam era
ini, semua kalangan memandang uang adalah segalanya sehingga mengupayakan diri
untuk memiliki pekerjaan yang menghasilkan pendapatan yang tinggi. Tetapi masih
dijumpai orang yang kurang memperhatikan keselamatan atau tidak menghiraukan
apa yang akan terjadi. Contohnya adalah masih banyak orang yang ingin menjadi
TKI (Tenaga Kerja Indonesia ) yang dijanji-janjikan menerima pendapatan yang
lebih tinggi dari negaranya sendiri tanpa mengetahui dampak bagi dirinya.
Dan sebagian besar pekerja rumah
tangga yang bermigrasi ke Malaysia datang dari Jawa Timur, Lombok dan Flores.
Para perempuan yang diwawancarai Human Rights Watch menyebutkan keperluan
finansial dan keinginan untuk membantu orang tua dan anak-anak sebagai alasan
utama mereka untuk mencari kerja di Malaysia. Beberapa perempuan menyatakan
bahwa mereka tertarik untuk melihat negara lain dan mempunyai pengalaman baru,
dan bahwa mereka melihat Malaysia sebagai batu loncatan untuk meraih
kualifikasi yang dapat menjadikan mereka sebagai calon yang lebih baik untuk
pekerjaan yang lebih menguntungkan di Timur Tengah, Singapura, atau Hongkong.
Sebagian besar berusia antara tujuh belas dan tiga puluh lima tahun, dan telah
tamat sekolah dasar atau menengah. Mereka memilih pekerjaan rumah tangga karena
mereka tidak harus membayar uang muka, dan mereka mendapat asrama dan makan
gratis di Malaysia, oleh karena itu, mereka yakin, (hal tersebut) memungkinkan
mereka menabung lebih banyak. Agen tenaga kerja pada umumnya mengutip uang
pemrosesan dan penempatan yang besar untuk pekerjaan lain di luar negeri,
misalnya, perkerjaan di pabrik, rumah-makan, atau perkebunan.
Tetapi belakangan ini tercium adanya
penindasan masyarakat sipil di Malaysia yang menjadikan sebuah pemaparan
pelecehan hak asasi manusia terhadap buruh migran perempuan, pengadaan layanan,
dan advokasi untuk perubahan luar biasa sulit. Kasus Irene Fernandez, direktur
Tenaganita, sebuah kelompok hak asasi migran terkemuka di Malaysia, menegaskan
atmosfir intimidasi dan paksaan yang telah diciptakan oleh negara. Fernandez
adalah seorang pembela hak asasi manusia yang diakui secara internasional, yang
sudah bekerja untuk memperbarui undang-undang tentang perkosaan dan kekerasan
rumah tangga, menyediakan layanan bantuan bagi buruh migran dan korban
perdagangan manusia, serta menciptakan program-program yang meningkatkan
layanan kesehatan bagi perempuan yang positif terinfeksi HIV.
Dalam wawancara dengan Riena Sarinem, usia
tiga puluh tahun, pekerja rumah tangga, Kuala Lumpur, Malaysia, 25 Februari,
2004 mengatakan,“Para majikan tidak seharusnya memperlakukan orang Indonesia
dengan semena-mena, karena, walau bagaimanapun, kami masih tetap manusia. Kami
punya hati dan perasaan. Mereka seharusnya menghargai kami juga. Mereka tidak
seharusnya memperlakukan kami dengan buruk, atas segala kesalahan kami dimana
kami mendapat pukulan. Kami ini toh manusia juga.”
Laporan ini menceritakan adanya
pelecehan dan eksploitasi rutin yang dihadapi oleh pekerja rumah tangga migran
perempuan dalam perekrutan maupun pelatihan di Indonesia dan di tempat kerja di
Malaysia. Agen-agen penyalur tenaga kerja mengontrol proses migrasi di kedua
negara dengan hanya sedikit pengawasan oleh pemerintah Indonesia atau Malaysia.
Pekerja rumah tangga migran yang
menderita pengurungan terpaksa, pelecehan fisik. Serta upah yang tak dibayar
hanya memiliki sedikit harapan untuk mendapatkan ganti rugi. Baik pemerintah
Indonesia maupun Malaysia tidak mempunyai undang-undang untuk melindungi
hak-hak buruh migran, dan undang-undang ketenagakerjaan Malaysia tidak
memberikan pekerja rumah tangga hak-hak dasar yang dijamin bagi pekerja lain.
Pemerintah Malaysia dan Indonesia
harus bertindak cepat dan tegas untuk menghargai secara penuh hak dan martabat
pekerja rumah tangga migran asal Indonesia. Rekomendasi kunci kami didaftarkan
di bawah, dan seperangkat rekomendasi yang lebih rinci, ditujukan kepada
pemerintah Indonesia dan Malaysia dan juga para pelaku dalam komunitas
internasional bisa dibaca di akhir laporan ini.
Indonesia dan Malaysia harus secara
aktif memberi perlindungan dan memantau perlakuan terhadap buruh migran
perempuan, bukan melepas tanggungjawab kepada para agen tenaga kerja. Untuk ini
diperlukan pedoman-pedoman bagi agen tenaga kerja, pemantauan yang lebih
seksama kegiatan agen-agen tersebut, dan mekanisme pengembanan yang melingkupi
pencanangan hukuman-hukuman berat bagi agen yang melecehkan pekerja atau yang
melanggar pedoman.
Malaysia selayaknya memperbaiki
undang-undang ketenagakerjaan dan undang-undang keimigrasiannya agar dapat
memberikan pekerja rumah tangga migran perlindungan penuh di bawah hukum.
Malaysia sepatutnya membenahi undang-undangnya untuk memfasilitasi proses
peradilan perdata dan prosekusi kasus-kasus kriminal terhadap majikan yang
melakukan pelecehan dan untuk menanggapi dengan lebih baik kebutuhan para
korban pelecehan atau perdagangan manusia.
Indonesia sepatutnya membuat
undang-undang tentang perlindungan terhadap buruh migran. Pemerintah semestinya
dapat mengatur dan memonitor praktek-praktek perekrutan dan pusat-pusat
pelatihan pra-keberangkatan secara lebih baik lagi. Pemerintah harus
menyediakan berbagai layanan untuk migran yang pulang dan telah menderita pelecehan,
termasuk program-program pelayanan kesehatan, bantuan hukum, konseling, dan
reintegrasi.
Indonesia dan Malaysia seharusnya
bertekad merundingkan untuk membicarakan sebuah kesepakatan bilateral mengenai
pekerja rumah tangga yang berisi standar kontrak dengan ketentuan-ketentuan
mengenai jam kerja, hari libur, dan pembayaran; sistem untuk memantau
pusat-pusat pelatihan dan tempat-tempat kerja; serta rencana-rencana tentang
adanya kerjasama untuk menyediakan layanan bagi yang selamat dari tindak
pelecehan. Perjanjian ini juga harus melindungi hak-hak pekerja rumah tangga
akan kebebasan bergerak dan kebebasan berserikat.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar