Kamis, 08 Maret 2012

Upaya Perlindungan Agen Penyalur dan Pemerintah terhadap Tenaga Kerja Indonesia


Upaya Perlindungan Agen Penyalur dan Pemerintah terhadap Tenaga Kerja Indonesia
Dalam era ini, semua kalangan memandang uang adalah segalanya sehingga mengupayakan diri untuk memiliki pekerjaan yang menghasilkan pendapatan yang tinggi. Tetapi masih dijumpai orang yang kurang memperhatikan keselamatan atau tidak menghiraukan apa yang akan terjadi. Contohnya adalah masih banyak orang yang ingin menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia ) yang dijanji-janjikan menerima pendapatan yang lebih tinggi dari negaranya sendiri tanpa mengetahui dampak bagi dirinya.
Dan sebagian besar pekerja rumah tangga yang bermigrasi ke Malaysia datang dari Jawa Timur, Lombok dan Flores. Para perempuan yang diwawancarai  Human Rights Watch menyebutkan keperluan finansial dan keinginan untuk membantu orang tua dan anak-anak sebagai alasan utama mereka untuk mencari kerja di Malaysia. Beberapa perempuan menyatakan bahwa mereka tertarik untuk melihat negara lain dan mempunyai pengalaman baru, dan bahwa mereka melihat Malaysia sebagai batu loncatan untuk meraih kualifikasi yang dapat menjadikan mereka sebagai calon yang lebih baik untuk pekerjaan yang lebih menguntungkan di Timur Tengah, Singapura, atau Hongkong. Sebagian besar berusia antara tujuh belas dan tiga puluh lima tahun, dan telah tamat sekolah dasar atau menengah. Mereka memilih pekerjaan rumah tangga karena mereka tidak harus membayar uang muka, dan mereka mendapat asrama dan makan gratis di Malaysia, oleh karena itu, mereka yakin, (hal tersebut) memungkinkan mereka menabung lebih banyak. Agen tenaga kerja pada umumnya mengutip uang pemrosesan dan penempatan yang besar untuk pekerjaan lain di luar negeri, misalnya, perkerjaan di pabrik, rumah-makan, atau perkebunan.
Tetapi belakangan ini tercium adanya penindasan masyarakat sipil di Malaysia yang menjadikan sebuah pemaparan pelecehan hak asasi manusia terhadap buruh migran perempuan, pengadaan layanan, dan advokasi untuk perubahan luar biasa sulit. Kasus Irene Fernandez, direktur Tenaganita, sebuah kelompok hak asasi migran terkemuka di Malaysia, menegaskan atmosfir intimidasi dan paksaan yang telah diciptakan oleh negara. Fernandez adalah seorang pembela hak asasi manusia yang diakui secara internasional, yang sudah bekerja untuk memperbarui undang-undang tentang perkosaan dan kekerasan rumah tangga, menyediakan layanan bantuan bagi buruh migran dan korban perdagangan manusia, serta menciptakan program-program yang meningkatkan layanan kesehatan bagi perempuan yang positif terinfeksi HIV.
 Dalam wawancara dengan Riena Sarinem, usia tiga puluh tahun, pekerja rumah tangga, Kuala Lumpur, Malaysia, 25 Februari, 2004 mengatakan,“Para majikan tidak seharusnya memperlakukan orang Indonesia dengan semena-mena, karena, walau bagaimanapun, kami masih tetap manusia. Kami punya hati dan perasaan. Mereka seharusnya menghargai kami juga. Mereka tidak seharusnya memperlakukan kami dengan buruk, atas segala kesalahan kami dimana kami mendapat pukulan. Kami ini toh manusia juga.”
Laporan ini menceritakan adanya pelecehan dan eksploitasi rutin yang dihadapi oleh pekerja rumah tangga migran perempuan dalam perekrutan maupun pelatihan di Indonesia dan di tempat kerja di Malaysia. Agen-agen penyalur tenaga kerja mengontrol proses migrasi di kedua negara dengan hanya sedikit pengawasan oleh pemerintah Indonesia atau Malaysia.
Pekerja rumah tangga migran yang menderita pengurungan terpaksa, pelecehan fisik. Serta upah yang tak dibayar hanya memiliki sedikit harapan untuk mendapatkan ganti rugi. Baik pemerintah Indonesia maupun Malaysia tidak mempunyai undang-undang untuk melindungi hak-hak buruh migran, dan undang-undang ketenagakerjaan Malaysia tidak memberikan pekerja rumah tangga hak-hak dasar yang dijamin bagi pekerja lain.
Pemerintah Malaysia dan Indonesia harus bertindak cepat dan tegas untuk menghargai secara penuh hak dan martabat pekerja rumah tangga migran asal Indonesia. Rekomendasi kunci kami didaftarkan di bawah, dan seperangkat rekomendasi yang lebih rinci, ditujukan kepada pemerintah Indonesia dan Malaysia dan juga para pelaku dalam komunitas internasional bisa dibaca di akhir laporan ini.
Indonesia dan Malaysia harus secara aktif memberi perlindungan dan memantau perlakuan terhadap buruh migran perempuan, bukan melepas tanggungjawab kepada para agen tenaga kerja. Untuk ini diperlukan pedoman-pedoman bagi agen tenaga kerja, pemantauan yang lebih seksama kegiatan agen-agen tersebut, dan mekanisme pengembanan yang melingkupi pencanangan hukuman-hukuman berat bagi agen yang melecehkan pekerja atau yang melanggar pedoman.
Malaysia selayaknya memperbaiki undang-undang ketenagakerjaan dan undang-undang keimigrasiannya agar dapat memberikan pekerja rumah tangga migran perlindungan penuh di bawah hukum. Malaysia sepatutnya membenahi undang-undangnya untuk memfasilitasi proses peradilan perdata dan prosekusi kasus-kasus kriminal terhadap majikan yang melakukan pelecehan dan untuk menanggapi dengan lebih baik kebutuhan para korban pelecehan atau perdagangan manusia.
Indonesia sepatutnya membuat undang-undang tentang perlindungan terhadap buruh migran. Pemerintah semestinya dapat mengatur dan memonitor praktek-praktek perekrutan dan pusat-pusat pelatihan pra-keberangkatan secara lebih baik lagi. Pemerintah harus menyediakan berbagai layanan untuk migran yang pulang dan telah menderita pelecehan, termasuk program-program pelayanan kesehatan, bantuan hukum, konseling, dan reintegrasi.
Indonesia dan Malaysia seharusnya bertekad merundingkan untuk membicarakan sebuah kesepakatan bilateral mengenai pekerja rumah tangga yang berisi standar kontrak dengan ketentuan-ketentuan mengenai jam kerja, hari libur, dan pembayaran; sistem untuk memantau pusat-pusat pelatihan dan tempat-tempat kerja; serta rencana-rencana tentang adanya kerjasama untuk menyediakan layanan bagi yang selamat dari tindak pelecehan. Perjanjian ini juga harus melindungi hak-hak pekerja rumah tangga akan kebebasan bergerak dan kebebasan berserikat.


DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar